Negeri 5 Menara, #3 Alif merasa berdiri di pucuk dunia. Bagaimana tidak? Dia telah mengelilingi separuh dunia, tulisannya tersebar di banyak media, dan diwisuda dengan nilai terbaik. Dia yakin perusahaan-perusahaan akan berlomba-lomba merekrutnya. Namun Alif lulus di saat yang salah. Akhir 90-an, krisis ekonomi mencekik Indonesia dan negara bergolak di masa reformasi. Satu per satu,
Negeri 5 Menara, #2 Alif baru saja tamat dari Pondok Madani. Dia bahkan sudah bisa bermimpi dalam bahasa Arab dan Inggris. Impiannya? Tinggi betul. Ingin belajar teknologi tinggi di Bandung seperti Habibie, lalu merantau sampai ke Amerika. Dengan semangat menggelegak dia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan
Merantau pergi meninggalkan kampung halaman merupakan sebuah pilihan. Ada keinginan yang membuncah antara memperbaiki kehidupan, mencari pengalaman baru, lari dari sesuatu, hingga mengenyam pendidikan yang lebih baik. Merantau berarti mencari rumah kedua. Meresapi berbagai yang asing menjadi lekat dan dekat. Beradaptasi kembali dan berjuang melawan tekanan; teman baru, suhu yang tidak sesuai, rasa rindu yang
Negeri 5 Menara, #1 Seumur hidupnya Alif tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya dilalui dengan berburu durian runtuk di rimba Bukit Barisan, main bola di sawah dan mandi air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus melintasi punggung Sumatera menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya
Hepi, perantau bujang yang menyalakan dendam di tepi danau. Martiaz, ayah yang pecah kongsi dengan anaknya di simpang jalan. Datuk, kakek yang ingin menebus dosa masa lalu di tengah surau. Pandeka Luko, pahlawan gila yang mengobati luka lama di rumah usang. Apakah “alam terkembang jadi guru” menjadi amanat hidupnya? Mungkinkan maaf dan lupa menjadi penawar